Ketergantungan pada AI: Tantangan bagi Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa Bimbingan dan Konseling
![](https://statik.unesa.ac.id/bk/thumbnail/66ece9ee-ae6d-4927-9155-ab7c721161ed.png)
Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah menghadirkan manfaat besar di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Namun, keberadaan AI juga membawa tantangan tersendiri, salah satunya adalah potensi menurunnya keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Profil lulusan mahasiswa S2 Bimbingan dan Konseling memerlukan kemampuan analisis, refleksi, dan pemecahan masalah menjadi esensial. Ketergantungan pada AI dapat melemahkan penguasaan keterampilan ini jika tidak diimbangi dengan penggunaan yang bijak.
Salah satu dampak negatif AI adalah kecenderungan
mahasiswa untuk menerima informasi secara pasif. Aplikasi berbasis AI sering
kali memberikan jawaban instan tanpa mendorong mahasiswa untuk mendalami proses
analisis atau mempertanyakan sumber informasi tersebut. Akibatnya, mahasiswa
dapat kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dalam mengevaluasi keakuratan
atau relevansi data, padahal keterampilan ini sangat diperlukan dalam memahami
kompleksitas masalah konseling dan menyusun intervensi yang tepat.
Selain itu, penggunaan AI secara berlebihan dapat
mengurangi upaya mahasiswa dalam mencari solusi kreatif. AI memang mempermudah
penyelesaian tugas akademik, seperti menyusun laporan atau menganalisis data.
Namun, jika mahasiswa terlalu bergantung pada teknologi ini, mereka mungkin
tidak terlatih untuk mengeksplorasi ide-ide baru atau mengambil pendekatan
inovatif dalam menghadapi tantangan konseling. Hal ini dapat menghambat
perkembangan intelektual yang diperlukan dalam profesi konselor.
Ketergantungan pada AI juga berisiko melemahkan
kemampuan reflektif mahasiswa. Dalam Bimbingan dan Konseling, refleksi adalah
proses penting untuk memahami emosi, pola pikir, dan dinamika interpersonal
baik dari diri sendiri maupun klien. AI, dengan sifatnya yang berbasis logika
dan algoritma, tidak dapat menggantikan proses reflektif manusia. Jika
mahasiswa lebih banyak mengandalkan AI daripada melatih introspeksi, mereka
bisa kehilangan keterampilan ini, yang merupakan fondasi dalam membangun
hubungan terapeutik yang efektif.
Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa S2 Bimbingan
dan Konseling untuk menggunakan AI secara proporsional dan kritis. AI
seharusnya tidak menjadi pengganti, tetapi alat pendukung yang membantu
memperkuat proses pembelajaran. Dengan memadukan keunggulan teknologi dan
keterampilan berpikir kritis, mahasiswa dapat memanfaatkan AI secara optimal
tanpa mengorbankan kemampuan intelektual dan reflektif mereka. Integrasi ini
akan memastikan bahwa calon konselor tetap memiliki kompetensi yang relevan dan
unggul dalam menghadapi tantangan dunia nyata.
Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah menghadirkan manfaat besar di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Namun, keberadaan AI juga membawa tantangan tersendiri, salah satunya adalah potensi menurunnya keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Di program studi S2 Bimbingan dan Konseling, di mana kemampuan analisis, refleksi, dan pemecahan masalah menjadi esensial, ketergantungan pada AI dapat melemahkan penguasaan keterampilan ini jika tidak diimbangi dengan penggunaan yang bijak.
Salah satu dampak negatif AI adalah kecenderungan
mahasiswa untuk menerima informasi secara pasif. Aplikasi berbasis AI sering
kali memberikan jawaban instan tanpa mendorong mahasiswa untuk mendalami proses
analisis atau mempertanyakan sumber informasi tersebut. Akibatnya, mahasiswa
dapat kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dalam mengevaluasi keakuratan
atau relevansi data, padahal keterampilan ini sangat diperlukan dalam memahami
kompleksitas masalah konseling dan menyusun intervensi yang tepat.
Selain itu, penggunaan AI secara berlebihan dapat
mengurangi upaya mahasiswa dalam mencari solusi kreatif. AI memang mempermudah
penyelesaian tugas akademik, seperti menyusun laporan atau menganalisis data.
Namun, jika mahasiswa terlalu bergantung pada teknologi ini, mereka mungkin
tidak terlatih untuk mengeksplorasi ide-ide baru atau mengambil pendekatan
inovatif dalam menghadapi tantangan konseling. Hal ini dapat menghambat
perkembangan intelektual yang diperlukan dalam profesi konselor.
Ketergantungan pada AI juga berisiko melemahkan
kemampuan reflektif mahasiswa. Dalam Bimbingan dan Konseling, refleksi adalah
proses penting untuk memahami emosi, pola pikir, dan dinamika interpersonal
baik dari diri sendiri maupun klien. AI, dengan sifatnya yang berbasis logika
dan algoritma, tidak dapat menggantikan proses reflektif manusia. Jika
mahasiswa lebih banyak mengandalkan AI daripada melatih introspeksi, mereka
bisa kehilangan keterampilan ini, yang merupakan fondasi dalam membangun
hubungan terapeutik yang efektif.
Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa S2 Bimbingan
dan Konseling untuk menggunakan AI secara proporsional dan kritis. AI
seharusnya tidak menjadi pengganti, tetapi alat pendukung yang membantu
memperkuat proses pembelajaran. Dengan memadukan keunggulan teknologi dan
keterampilan berpikir kritis, mahasiswa dapat memanfaatkan AI secara optimal
tanpa mengorbankan kemampuan intelektual dan reflektif mereka. Integrasi ini
akan memastikan bahwa calon konselor tetap memiliki kompetensi yang relevan dan
unggul dalam menghadapi tantangan dunia nyata.